Aan Rukmana, dosen Jurusan Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina mengatakan alam pada dirinya adalah baik. Demikian pun Situ Gintung. Menurutnya, alam tidak pernah salah pada dirinya. Kesalahan alam terjadi dalam relasinya dengan sesuatu di luar dirinya, yaitu manusia.
Dalam kaitannya dengan manusia itulah, lanjut Aan, Situ Gintung menjadi jahat. Dengan demikian, konsep kejahatan Situ Gintung muncul dalam relasinya dengan manusia. Jebolnya tanggul, dari sudut pandang alam sendiri, sebenarnya baik, karena alam boleh jadi sedang melakukan peremajaan. Namun, dalam kaca mata manusia justru sebaliknya, jahat.
Kejahatan, menurut Aan, tidak memiliki eksistensi dan karena itu kejahatan menjadi tidak ada. Yang eksis adalah yang baik. Bencana alam, menurut Aan, adalah eksis. Namun, kebaikan itu menjadi jahat dalam relasinya dengan manusia. “Kalau manusia melihat konteks bencana Situ Gintung dari kaca mata dirinya (manusia) tentu itu menjadi kejahatan,” paparnya.
Namun, kejahatan itu tidak mutlak, karena kejahatan itu terkait dengan manusia sendiri. Untuk itulah, Aan menekankan tentang pentingnya dimensi tanggung jawab manusia terhadap alam. “Bagaimanapun, manusia bertanggung jawab terhadap alam karena alam pada dirinya adalah baik,” imbuhnya.
Tanggul Situ Gintung, menurut Aan, merupakan hasil dari usaha manusia. Dengan pembuatan tanggul itu manusia memanfaatkan air yang ada di dalamnya, baik untuk kepentingan wisata, irigasi dan lain-lain. Tetapi, usaha manusia itu tidak ditindaklanjuti dengan penjagaannya sebagai dimensi tanggung jawab manusia atas alam. “Penjagaan itu tidak dilakukan alias lalai,” tegas Aan.
Karena mansia lalai atas dimensi tanggung jawabnya terhadap alam, manusia sendirilah yang menjadi korban. “Tapi itu bukan salah alam. Bagaimanapun juga alam menjadi jahat karena ulah manusia juga,” pungkasnya. ”Karena itu, janganlah bermain-main dengan alam.”
Sedangkan penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung, disinyalir akibat usianya yang sudah tua. Pasalnya, tanggul yang berdekatan dengan kompleks perumahan Cirendeu Permai Tangerang itu, sudah ada sejak zaman Belanda.
Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane, Sutoyo Subandrio Pitoyo, ketika hujan berlangsung seharian pada Kamis (26/3), yakni dari pukul 16.00-21.00 WIB, warga setempat sudah memberitahu akan kondisi tanggul. Bahkan di sebelah hulu tanggul terjadi hujan es. “Kemudian terjadi kenaikan muka air yang cepat. Kemudian air terus naik sehingga tanggul tidak mampu mengalirkan air ke luar,” ujarnya.
Selain itu, ujar Suroyo, di sisi lain tekanan terus-menerus terjadi sehingga menyebabkan gerusan. Kemudian bendungan pun longsor dan roboh. Urukan jenis apapun, bisa jebol jika terjadi limpasan. “Karena hujan deras sehingga bendungan yang dibuat pada zaman belanda tidak mampu menampung air,” paparnya.
Luas danau Situ Gintung 21 hektar. Dapat dipastikan lebih dari satu juta debit air yang tumpah ke perumahan Cirendue. “Debit air selama hujan bertambah. Lama-kelamaan, danau ini tidak menahan debit air sehingga akhirnya jebol," ucapnya. Korban meninggal dunia hingga saat ini sudah mencapai 43 orang. [I4]
Hari Raya Idul Adha 1429H
15 tahun yang lalu
1 komentar:
paling enak nyalahin alam. padahal kata orang BPPT itu karena waduk gak diurus. debit hujan masih sangat kecil dibanding tahun 2007. lengkapnya baca aja di sini: http://www.republika.co.id/berita/40874/BPPT_Sempat_Ingatkan_Soal_Situ_Gintung
Posting Komentar